-3-
Ringkasan cerita lalu:
Sesampai di Pesantren, Kakek, Husni, dan Rizal berada di kediaman Kiyai Mahmud. Kakek seolah menemukan dunianya sendiri manakala berbincang-bincang dengan Kiyai Mahmud. Rizal dan Husni mulai mengulik dunianya sendiri dengan memperhatikan seorang gadis beranjak remaja bernama Riana. Rizal menggoda Husni seolah Riana itu cocok untuknya.
Di sisi lain, dalam benak Husni lebih menekuni kenyataan bahwa dirinya harus mondok di Pesantren Kiayi Mahmud dalam kondisi yang tidak bisa ia elak, bapaknya kini entah kemana dan ibunya kini bekerja sebagai buruh migran di negeri orang yang entah kapan bisa berjumpa.
___
Kisah kembali pada Lima Tahun Yang Lalu
Pikiran Husni pun melayang pada alur kisah hidup masa kecilnya dan bagaimana kondisi orang tuanya pada waktu itu.
“Ngeeng…, ngeeeng….” Suara itu keluar dari mulut Husni sembari mendorong mobil mainannya di pelataran rumah.
Kali ini bocah berusia tujuh tahun itu asyik sendirian dengan mainan yang terbuat dari kayu itu, sebab ia tak kuat diolok-olok kawan sepermainannya. Mobil-mobilan berbentuk truk tersebut dianggap paling jelek di antara mainan kawan-kawannya. Meski demikian Husni tak berkecil hati sebab bapaknya, Burhan, sudah berjanji kalau pekan depan sepulang dari kerja ia akan membelikan mobil-mobilan yang baru dan bagus.
“Ngeeng…, ngeeeng…”
Di pelataran tanah depan rumah itu, Husni menggambar perlintasan jalan dengan imajinasi yang seukur degan besaran truk mainannya, lalu didoronglah hati-hati seolah ia sedang mengemudi di jalan yang terjal. Mendadak sebuah kerikil yang dilemparkan dari jauh lalu berhenti setelah terantuk sedikit keras pada badan mobil mainan tersebut.
Husni berkesiap tanya dalam hati, soalnya tak ada angin kenapa kerikil yang segede kelereng itu bergerak bergitu cepat bergulir dan membentur ke mobil mainannya. Ia perhatikan seksama badan mobil mainan itu, barangkali ada bagian yang bonyok, sebab ia menjaga mainan dari papan-papan bekas yang pernah teronggok lama di belakang rumah sebagaimana menjaga hatinya untuk menghargai jerih payah orang tua membikinkan mainan itu.
Halimah selalu bilang agar anak bisa menghargai keringat orang lain terutama orang tua sebab mainan itu dibikin oleh bapaknya sedemikian rupa dalam replika sebuah truk yang sederhana. Roda-rodanya—yang juga dari papan— tampak oleng meliuk-liuk maju mundur ketika ditarik-tarik kedua tangan Husni.
Ya. Mainan ini adalah buatan dari tangan bapaknya, hingga ia harus merawatnya sebagaimana merawat kerinduan yang setiap sepekan harus ia tumpahkan kepada bapaknya. Mainan itu adalah buah kerinduan sebab Burhan yang bekerja di kota memang sudah rutin pulang setiap sabtu sore untuk bertemu keluarganya. Dan itulah yang membuat Husni terbiasa mengukir penantian kepada bapaknya.
Mata mungilnya mulai menelusuri dari mana datangnya kerikil sebesar kelereng itu. Karena tak mungkin jika benda itu jatuh dari langit atau mungkinkah dari pesawat yang melintas di udara? Atau barangkali anak-anak tetangga yang kemarin mengolok-olok mainannya lalu bersembunyi di balik semak-semak?
“Aha…” Wajah Husni mendadak cerah ceria. Ia kaget dan langsung berdiri dari duduknya. Ia pandangi bapaknya itu penuh tanya lalu ia ter senyum dan berteriak girang:
“Bapak datang!”
Husni hampir tak percaya dengan kedatangan bapaknya, sebab baru dua hari Burhan meninggalkan keluarganya untuk pergi bekerja hingga tak ada bayangan bagi Husni jika kerikil sebesar kelereng itu ternyata tendangan dari bapaknya yang pulang tidak seperti biasanya.
“Bapak yang melempar batu kecil itu?” tanya Husni sambil menubruk bapaknya.
“Iya…, tadi bapak menendangnya…, mengenai kamu ya?” Burhan balik tanya sambil merangkul dan mengusap kepala anaknya.
Husni hanya geleng-geleng, lalu anak itu menunjukkan kalau kerikil tersebut mengenai truk mainannya.
“Oh…, maaf ya, Tong….” ujarnya dengan langkah gontai masuk ke teras dan duduk di balai-balai bambu yang ada di pojok teras itu.
Sikap Burhan tak sepadan dengan sambutan Husni yang begitu rela meninggalkan mainannya dan lari dengan riang ingin mendekap bapaknya. Namun rindu seorang bocah seolah tak bersambut membuat Husni menatap langkah bapaknya penuh tanya.
“Apa gerangan dengan bapak?” mungkin itu yang tersirat di benak Husni.
Anak yang baru menginjak usia tujuh tahun ini tak kuasa menerka kondisi yang dialami bapaknya. Husni hanya mampu melihat dengan sepasang bola matanya tampak jelas bahwa wajah Burhan kini sedang layu dibaluri keringat menempel di keningnya itu.
Burhan seperti menyadari keheranan anaknya itu. Ia mencoba menata senyum agar kekecewaan bocah tak begitu melanda batin. Cukup memandang dengan sayu dalam kata batin yang sendu,
“Untuk kali ini, tak ada oleh-oleh mainan buatmu, Tong…” Batin Burhan.
Cukup rona Burhan menjadi bahasa isyarat yang semakin dipahami Husni, hingga anak itu bergegas menjauhi bapaknya dan lari kecil masuk ke dalam rumah dengan niat hendak memberitahukan pada ibunya kalau bapak baru tiba dari kota di luar hari seperti biasanya.
Baru saja memasuki pintu, Husni terkejut karena hampir saja bertabrakan dengan Halimah, ibunya, yang secara bersamaan hendak keluar.
“Aduh, Husniiiii!” seru sang ibu.
Langkah kaki Husni terkaku diam sejenak mendengar omekan Halimah, ibunya, membuat ia berusaha menenangkan diri dan tak jadi masuk ke dalam rumah. Ia justru melangkah ke arah truk mainannya itu. Ia angkat mobil-mobilan itu. Ia junjung di pundak kanannya, lalu ia coba dengan tenang masuk ke dalam rumah.
***
Halimah tersenyum mendapati suaminya pulang walaupun bukan pada hari seperti biasanya.
“Aih…, Akang…, kok tidak pakai salam…?” seru Halimah..
“Assalamu ‘alaikum, Neng Imah,” kata Burhan datar sembari duduk di balai-balai yang berada di pojok teras rumah.
“Wa’alaikum salam. Iih, kok wajah Akang nggak semangat begitu, ada apa Kang…?”
“Atuh Neng…, tahu suami baru tiba malah diserang pertanyaan, gimana sih?”
“Ih maaf, atuh Kang…, ya sudah Imah ke belakang dulu ambil air putih sambil masak air buat kopi Akang…”
“Ya… sok cepet atuh…!” Seru Burhan sedikit merebah.
Sementara Halimah ke dalam rumah, ia memergoki Husni yang ternyata sedari tadi mencoba mendengarkan percakapan orang tuanya dari balik jendela. Sebab anak itu ingin sekali tahu apa yang terjadi pada bapaknya.
“Aih, bocah nguping wae, sana mandi! Sudah sore ntar keburu maghrib!” halau Halimah kepada Husni sambil melenggang menuju dapur.
Kontan Husni berlari ke belakang rumah dan menyahut handuk untuk mandi. Ia takut akan melakukan kesalahan yang ketiga kalinya.
Langit semakin temaram. Di balai-balai itu, mata Burhan tak berkedip menatap awan yang hendak menggulung senja. Saat ia bersandar di dinding kayu teras rumah itu, ia hembuskan nafas untuk melepas penat perjalanan dari kota, bahkan ia sibakkan kepenatan hidup yang tiba-tiba saja menghimpit dirinya.
“Akang…, mengapa melamun?” ucap Halimah pelan seakan tak hendak ia mengagetkan.
Tanpa kata-kata ia menoleh dan meminum segelas air putih itu sampai habis. Halimah lalu menunduk ke arah lantai guna membetulkan letak sandal suaminya dan menyingkirkan sepatu yang baru dilepas dari kaki suaminya.
Segera kaki Burhan memakai sandal tersebut dan masuk ke dalam rumah. Halimah segera membawa tas rangsel suaminya lalau membututi langkah Burhan. Ibu muda itu tahu ke mana langkah tersebut. Setelah meletakkan rangsel ke kursi ia segara mengejar Burhan yang ternyata sudah berada di kamar mandi. Halimah pun menyahut handuk dan mencari pakaian ganti yang baru tadi siang ia lipat dan belum sempat ia masukkan ke dalam lemari.
Beribu tanya mulai menggelayut di benak perempuan muda yang sudah delapan tahun mendampingi Burhan tersebut. Suatu hal yang mengejutkan, mengapa suaminya pulang di luar hari yang sudah menjadi kebiasaan yaitu hari sabtu sore?
Hari ini sebenarnya baru dua hari Burhan meninggalkan rumah setelah menikmati minggu bersama. Dan tak biasanya wajah kusut menggelayuti suaminya. Dan tak ada lagi pernik barang yang menjadi oleh-oleh di dalam tas rangselnya. Lalu Halimah membawa rangsel ringan tak berisi tersebut untuk ia gantungkan ke dinding seperti biasanya tanpa melepas ruas penasaran dalam benaknya.
Tak juga hilang dari ingatan Halimah tentang janji Burhan bahwa akhir pekan depan siap membelikan oleh-oleh berupa mainan yang baru buat Husni sebagaimana tak lekangnya deru janji suci yang berdengung akan kebahagiaan membangun bahtera rumah tangga yang harus diperjuangkan. Ya! Harus diperjuangkan.
Burhan sudah keluar dari kamar mandi, rasa harum sabun masih terserap oleh hidung Halimah. Wajah suaminya tampak sedikit segar dengan badan berbuntal sarung dan baju kaos berkerah yang biasa dipakai saat di rumah, meski masih ada sisa semburat kemarahan atau penyesalan yang terpendam terhadap nasib yang menimpa lelaki muda itu.
Halimah mencoba kembali mengikuti dari belakang sembari menebak apa yang ada di pikiran suaminya tersebut. Burhan beringsut ke teras dan duduk di balai-balai menunggu kehadiran petang yang mengarah ke malam.
“Waktunya adzan maghrib, nggak baik berada di luar rumah, pamali…, Kang….” tegur Halimah.
“Belum lagi…” sahut Burhan cuek dan tetap tak mau beranjak dari duduknya.
“Tapi nggak enak dilihat tetangga…” Tegar Halimah sedikit khawatir.
“Ah sudah lah!… Ngapain mikirin tetangga!!!” elak Burhan agak melotot sembari mengangkat kakinya ke atas balai-balai.
“Kang…, Neng masuk dulu aja ya…” Halimah segera masuk ke rumah sembari berharap agar Burhan mengikutinya.
Namun…
“Ntar…, Neng…, kamu duduk lah di sini di samping Akang….”
“Enggak ah…, sudah maghrib…, pamali….”
“Kamu disuruh duduk saja sebentar kenapa nggak mau sih!?” Burhan kembali meninggikan suara membuat Halimah seakan refleks mendekati suaminya agar tidak merusak suasana petang yang tenang.
Halimah semakin kaget dengan perilaku suaminya yang tampak semakin tak biasa. Akan tetapi ia mencoba untuk mengerti sekaligus menanti jawaban dari rasa penasaran tentang apa yang terjadi pada suaminya.
“Neng….” Suara Burhan berubah gemetar.
“Iya…, Akang…” Halimah pun menata suara yang lebih halus pertanda ia siap mendengarkan apa yang akan dikatakan suaminya.
“Akang dipecat…”
“Apa?!” teriak Halimah kemudian segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
Mereka berdua sama-sama terdiam sejenak hingga suara azan berkumandang. Halimah beringsut penuh keraguan.
“Boleh Neng masuk ke dalam…., Kang?” tanya Halimah penuh kehati-hatian sekaligus membawa kesedihan yang cukup mengejutkan.
Burhan hanya mengangguk dan tetap duduk dalam sekian menit untuk mendengarkan suara Walad yang pamit pada ibunya untuk ke masjid lalu keluarlah anak kecil itu medekat ke Burhan meraih tangan dan menciumnya.
Burhan tersenyum kecut saat melihat tingkah Husni yang berlari menuju masjid tanpa ada beban seolah ia ingin kembali ke masa kanak yang tak pernah bergelut dengan ganasnya kehidupan.
***Bersambung***