Oleh: Etik Juwita
HONG KONG adalah kota megapolitan yang dikenal dunia sebagai “Shopping Paradise”. Mall dan gedung pencakar langit hampir memenuhi wilayahnya. Di tengah-tengah kepadatan Hong Kong, ada sekitar 340.000 pekerja migran yang bekerja di rumah-rumah yang dikenal dunia menyandang rekor memiliki apartemen-apartemen terkecil di dunia. Diterjang badai Covid-19 yang cenderung selalu berhubungan dengan jaga jarak dan isolasi, di mana para pekerja migran ini berlindung?
Sejak merebaknya Covid-19 dua tahun lalu, para pekerja migran di Hong Kong sudah mengalami dampak langsung. Ini karena masyarakat Hong Kong sudah memiliki sejarah buruk dengan virus flu akut (SARS) yang terjadi tahun 2002-2004. Masyarakat Hong Kong sudah pernah melakukan tindakan-tindakan pencegahan penyebaran virus sebelumnya, sudah mempelajari bagaimana keganasan virus merenggut nyawa orang-orang tersayang dan bagaimana situasi mencekam dikepung virus. Di masa lalu, virus SARS mereda sebelum orang-orang heboh tentang vaksinasi massal. Rupanya, Covid-19 tidak mudah ditaklukkan, pekerja migran harus menguatkan diri berkepanjangan.
Bertambahnya beban kerja dan tak bisa cuti
Pekerja migran mengeluhkan beban kerja yang bertambah berat selama pandemi. Pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan kebersihan rumah harus dilakukan berulang kali dalam satu hari. Pekerjaan-pekerjaan ini selain membutuhkan tenaga ekstra juga melibatkan penggunaan bahan-bahan kimia. Banyak yang mengeluhkan mengalami alergi karenanya.
Pekerja migran juga orang yang bertanggung jawab pada kesehatan anggota keluarga majikan yang berkaitan dengan makanan. Majikan seringkali menuntut ragam makanan yang lebih kompleks untuk alasan peningkatan imun anggota keluarga. Hal seperti ini tak jarang membuat pekerja migran dituntut untuk lebih pintar memeras otak dalam mengatur uang; bagaimana pun, tak jarang uang yang dianggarkan majikan untuk belanja sehari-hari juga tidak mengalami kenaikan. Di media sosial, ruang di mana para pekerja migran sering menumpahkan keluh kesahnya, cerita-cerita bertebaran silih berganti.
Seiring dengan penerapan zero-covid policy yang ketat yang dilakukan oleh pemerintah Hong Kong, pekerja migran lagi-lagi menjadi orang-orang yang lebih dulu terkena dampaknya. Kebijakan ini menyangkut penerapan karantina yang panjang yang menyulitkan pekerja migran untuk mengambil cuti pulang ke Tanah Air. Akibatnya, jika memaksakan untuk pulang, pekerja migran harus menerima konsekuensi untuk kehilangan pekerjaan. Sementara untuk kehilangan pekerjaan, itu akan jadi kesulitan berikutnya yang tak mudah dihadapi. Ibaratnya, maju kena, mundur pun kena.
Menghadapi diskriminasi di tengah pandemi
Hari ini, Hong Kong menghadapi gelombang ke-5 serangan Covid-19. Meskipun Covid-19 varian Omicron yang masuk Hong Kong sejak awal tahun seperti tak terbendung, pemerintah HK tetap bersikeras untuk terus menerapkan zero covi-19 policy. Polisi diterjunkan untuk turut melakukan penindakan pada pelanggar aturan jaga jarak dan batasan maksimal berkerumun. Banyak pekerja migran yang terkena denda dengan besaran hingga dua bulan gaji kerja.
Fasilitas-fasilitas karantina dibangun untuk mengatasi penyebaran virus. Mereka-mereka yang terdeteksi positif Covid-19 akan dijemput oleh ambulans pemerintah dan di tempatkan di lokasi-lokasi ini. Toh, seorang pekerja migran, Dwi (52), pekerja migran Indonesia yang melakukan tes mandiri dan mendapati dirinya positif Covid-19 memilih untuk tidak memberitahu tentang fakta yang sebenarnya kepada siapapun, “Tempat karantinanya seperti penjara. Bahkan, kata orang-orang, untuk buang sampah di depan pintu pun kita tidak diijinkan. Saya takut malah bertambah parah di sana; bukan karena sakit tapi karena stres.”
Dwi memilih untuk menyembuhkan dirinya sendiri dengan mengkonsumsi obat-obatan ringan yang dikirim dari Tanah Air.”Pokoknya aku banyakin minum air putih, obat herbal anti masuk angin, obat sakit kepala, air kelapa kemasan, dan makan yang banyak.” Dalam kondisi sakit, Dwi masih bekerja seperti biasanya. Dwi hanya tinggal berdua dengan nenek. Sementara nenek yang dijaganya memilih untuk mengisolasi diri di kamar dan menghindar berhadapan langsung dengan Dwi.
Dwi menyampaikan cerita tetang temannya yang diberitahu majikan akan dipecat jika sampai terkena Covid-19. “Ahamdulilahnya, teman saya itu tidak kena, malah majikan dan anak majikan yang kena. Dia harus menjaga majikan yang sakit itu di rumah, karena mereka tidak mau ke fasilitas karantina. Coba bayangkan itu, betapa menyedihkan nasib teman saya itu.” seru Dwi.
Khotimah (45) PMI asal Tulungagung juga mendapati dirinya positif Covid-19 setelah nenek yang dirawatnya mengalami hal yang sama. Ia memberitahu majikan kondisinya dan berharap salah satu dari mereka untuk diisolasi di fasilitas karantina yang ada. Ia merasa perlu untuk beristirahat dan fokus pada penyembuhan. Tetapi majikan tidak mau mengirim nenek ke ruang isolasi, “Saya harus menjaga nenek dengan kondisi saya yang juga sakit.” ujarnya. Meskipun majikan mengirim kebutuhannya dan nenek yang dijaganya, tak urung ia pun merasa diperlakukan tidak adil. “Tapi sekarang, saya sudah sembuh. Saya berusaha untuk melupakan perjuangan saya waktu itu, karena kalau diingat-ingat saya menjadi sakit hati.”
Lain hal lagi dengan Anggi (53) PMI asal Kepanjen, Jawa Timur, yang mengaku belum pernah terjangkit Covid-19. Ia merasa pasrah jika suatu saat dirinya positif Covid-19. Pekerja migran yang saat ini bekerja di Ma On Shan itu itu pun merasa tidak perlu was-was karena Covid-19. Yang ia lakukan saat ini adalah menyediakan obat-obatan dari tanah air dan mengkonsumsinya jika sewaktu-waktu diperlukan.
Tidak ada yang bisa meramalkan kapan pandemi akan berakhir. Imbauan pemerintah HK agar masyarakatnya lebih berbelas kasih dan mempertimbangkan cuti sakit yang dibayar dan akomodasi gratis dan sesuai, serta perawatan medis gratis agaknya perlu dilakukan dengan lebih tegas. Bagaimanapun, pekerja migran di Hong Kong adalah garda paling depan yang menjaga kesehatan setiap anggota keluarga majikan yang notabene adalah rakyat Hong Kong.(*)
[…] Baca juga: Dihantam badai covid, pekerja migran menjerit. […]
Comments are closed.