KEMUNCULAN kasus pertama varian baru Omicron BA.5 di Hong Kong telah menimbulkan beragam komentar di media sosial, baik dari kalangan warga Indonesia maupun penduduk lainnya di HK.
Kemunculan Omicron BA.5 dilaporkan oleh otoritas kesehatan Hong Kong, Kamis (14/4/2022), hanya beberapa jam setelah pemerintah mengumumkan detail pelonggaran aturan social distancing yang rencananya diberlakukan pada 21 April nanti.
Sampai saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) masih meneliti sejauh mana efek varian baru Omicron BA.5 itu terhadap kesehatan manusia. Seberapa cepat penularannya? Seberapa parah dampaknya pada kesehatan orang? Dua pertanyaan ini belum ditemukan jawabnya, dan masih dalam penelitian.
Namun, warga net tampaknya lebih khawatir pada dampak pengetatan kembali aturan penanganan Covid di Hong Kong, ketimbang mencemaskan efek varian baru virus Covid itu pada kesehatan tubuh.
Hal itu tercermin dari komentar-komentar mereka di media sosial, baik dari kalangan buruh migran Indonesia maupun penduduk lainnya yang tinggal di Hong Kong, sejak Kamis (14/4/2022).
“Baru ada (perubahan) peraturan boleh kumpul 4 orang. Ada lagi varian baru. Embooh ah! Sampai bosen aku dikurung gak boleh keluar rumah,” demikian komen salah satu netizen di FB SUARA.
Di sebuah koran lokal Hong Kong, seorang netizen berkomentar, “Kenapa tidak fokus pada pasien di unit perawatan intensif. Berhentilah membuang waktu, uang dan sumber daya untuk mengejar orang yang membawa virus flu. Lalu, mengurung kami di hotel karantina yang mahal. Serta, membuat aturan sehingga perjalanan bisnis nyaris mustahil dilakukan!”
Sebagian besar lainnya merasa sudah bosan mendengar kata virus dan varian barunya. “Apakah tidak ada topik lain yang bisa dibahas?” tulis seorang netizen di media sosial koran lokal.
Seorang pemilik bar di daerah Tsim Sha Tsui, Kowloon, juga mengeluhkan kebijakan pemerintah yang terlalu ketat hingga melarang tempat usaha seperti itu beroperasi.
“Sudah beberapa bulan kami tak jalankan bisnis. Kami harus terus membayar uang sewa, meski bar kami dilarang buka. Mengapa pemerintah tidak melarang para landlord (pemilik tempat) menarik uang sewa dari orang-orang seperti kami?” ujar perempuan Hong Kong yang akrab disapa Jacky itu.
Pengetatan aturan pengendalian Covid memang telah berdampak besar pada kehidupan sosial dan ekonomi di Hong Kong. Banyak bisnis tumbang. Investor hengkang. Angka pengangguran pun melonjak.
Dampak Covid tidak hanya dirasakan warga lokal, tapi juga buruh migran. Sebab, upah minimum buruh migran tidak pernah naik sudah hampir tiga tahun, sedangkan beban kerja bertambah karena majikan lebih sering berada di rumah selama pandemi.
Tampaknya, Pemerintah Hong Kong perlu menimbang ulang, apakah strategi “zero case Covid” masih perlu dipertahankan? Toh, ketika menghadapi “gempuran” Omicron, strategi ini terbukti tidak terlalu efektif.
Jumlah korban meninggal tetap tinggi selama gelombang kelima di HK. Dari lebih 1.182.000 terinfeksi Covid, korban meninggal lebih dari 8.000 orang. Belum lagi dampak sosial ekonomi akibat aturan ketat social distancing dari strategi “zero case Covid”.
Mungkin, HK perlu mulai mengadopsi kebijakan “living with Covid” yang telah diterapkan di banyak negara lain. Apalagi, seperti klaim dari pemerintah HK sendiri, lebih dari 70 persen penduduk telah divaksin. Artinya, kekebalan komunitas (herb community) sudah mulai terbentuk di HK.
Terlebih lagi, masyarakat sudah belajar dari pengalaman tentang cara menghadapi infeksi virus ini. Bagaimana menjaga kebersihan tubuh dan lingkungan. Bagaimana merawat diri ketika merasakan gejala tertular virus Covid.
Seperti kata pakar virologi, sekali virus tersebar, ia akan hidup terus bersama kita. Mustahil, menghilangkan virus sampai nol dari muka bumi ini. Kenyataan yang terjadi adalah virus bermutasi dari satu varian ke varian lainnya. Bukan hilang sama sekali.
Yang lebih penting adalah meningkatkan sistem kekebalan tubuh, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, serta memelihara kesehatan fisik dan mental, guna melawan virus yang memang sudah berada di sekitar kita.(rtr/sta/b)