Oleh Dedy Kristanto dan Veby Mega
Seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI), sebut saja bernama Tesa (39 tahun) terpaksa tidak menjalankan sholat selama dua tahun karena majikannya memelihara anjing.
“Sebenarnya majikan saya sangat baik, saya tidak dilarang untuk menjalankan agama saya. Termasuk shalat. Tetapi karena majikan saya pelihara anjing, maka saya tidak shalat selama dua tahun,” kata Tesa kepada SUARA (Selasa, 30/04/2019).
Tesa sebenarnya bertugas utama untuk menjaga Bobo. Namun karena majikan juga memelihara anjing, akhirnya PMI ini juga bertugas untuk mengurus binatang peliharaan tersebut.
“Saya itu sebenarnya pekerjaan utamanya jaga Bobo, tetapi karena di rumah majika pelihara anjing, maka saya juga diminta untuk merawatnya. Anjing itu kan bagi orang muslim najis. Air liurnya itu yang bikin najis,” kata Tesa yang siang itu sedang menikmati hari liburnya di Victoria Park.
Menjadi delimatis bagi Tesa untuk menjalankan sholat, karena setiap hari harus merawat anjing juga. Tidak sekedar memberi makan, tetapi juga memandikan anjing. “Menurut ajaran Kyai saya di kampung, setiap kali kena air liur anjing, saya harus mandi untuk membersihkan diri, terutama untuk shalat harus wudu terlebih dahulu,” kata Tesa menambahkan.
Ustaz Abdul Muhaemin Karim dari Islamic Union Hong Kong kepada SUARA, juga membenarkan bahwa menurut ajaran Islam, najisnya anjing sebenarnya dapat disucikan dengan tanah atau sabun.
“Karena najis anjing itu hanya pada air liurnya saja dan hal itu bisa disucikan dengan air 7 kali salah satunya dengan tanah atau sabun. Setelah itu dia bisa berwudu dan sembahyang seperti biasa,” kata Ustaz Muhaemin.
Namun Tesa merasa kesulitan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Mosok setiap kali habis megang anjing harus mandi,” kata Tesa.
Akhirnya Tesa memilih untuk tidak berpuasa, sampai akhirnya anjing milik majikan tersebut mati. PMI asal Lampung ini baru kembali berpuasa dan bershalat saat anjing milik majikannya itu mati secara alami.
Kondisi sulit untuk beribadah di rumah majikan juga pernah dialami PMI asal Tulungagung yang bernama panggilan Kenze. Saat bekerja di majikan kedua, Kenze mengakui bahwa Majikan secara terang-terangan keberatan dia menjalankan shalat di dalam rumah.
“Majikan keduaku itu kan kepercayaanya lain, dia ada masang altar sembahyang di dalam rumah. Dia keberatan aku sembayang di rumah, karena katanya nanti bisa ‘bertengkar’. Jadi aku curi-curi saja kalau mau sembahyang, diam-diam,” kata Kenze.
Setelah finish kontrak, Kenze pun memilih untuk pindah majikan. Saat ini, Kenze tak mengalami masalah apapun dengan majikan barunya untuk menjalankan kewajiban agama.
“Alhamdullilah, sekarang saya bebas. Saya percaya kalau kita tekun menjalaninya, pasti akan ada berkahnya nanti. Namanya juga kerja, seenak apapun pasti ada tidak masalah juga, tergantung kita yang menghadapinya,” kata Kenze.
GAMMI minta PMI tak dipaksa stay in di rumah majikan
Sementara Rosidah dari organisasi GAMMI (Gabungan Migran Muslim Indonesia) di Hong Kong berpendapat bahwa akar permasalahan seperti yang dihadapi Tesa maupun Kenze sebenarnya dapat diatasi jika Pekerja Migran di Hong Kong tidak dipaksa untuk stay in (tinggal) di rumah majikan.
“Lilalita Allah saja, sekali lagi itu adalah kondisi kita dipaksa harus tinggal bersama majikan. Coba kalau kita bisa memilih untuk stay out kita bisa beli panci sendiri (untuk memasak makanan halal), kita bebas berpuasa, kita pasti bebas shalat,” kata Rosidah kepada SUARA, Minggu, 5/5/2019.
Namun sementara peraturan stay in di rumah majikan masih menjadi keharusan, Rosidah menyarankan agar para PMI Muslimah mencari jalan keluar mengatasi kondisi rumah majikan yang tidak memungkinkan untuk beribadah.
“Kita lebih sosialisasikan kepada kawan-kawan, pertama untuk memberikan pemahaman kepada majikannya, kalau majikannya sudah paham, Insya Allah akan mengijinkan, no problem, tapi jika majikan tidak mengijinkan, sementara PMI itu butuh pekerjaan, mempertahankan pekerjaan lebih mulia, jadi nggak apa-apa kalau sangat terpaksa, ya menyesuaikan saja karena Islam kan tidak menyulitkan umatnya,” kata Rosidah.
Rosidah lebih lanjut menyatakan bahwa puasa adalah wajib bagi mereka yang sehat akal pikiran dan lahirnya, dan jika kondisinya memang memungkinkan.
“Jika kondisinya memang tidak memungkinkan seperti banyak yang dihadapi teman-teman kita di rumah majikan, sebenarnya kita bisa menggantinya ke hari lain atau memberi makan satu hari kepada fakir miskin, atau diganti uang, berarti yang bisa dibelikan makanan selama 3 kali (qifarot),” kata Rosidah.
Artikel dimuat di SUARA edisi May Main 2019, terbit tanggal 8 Mei 2019