Melawan “Kodrat”

0
980
Contact US +852859865
Contact US +852859865

Sebaran COVID disikapi pemerintah dengan aturan pengetatan aktivitas warga di ruang-ruang publik. Dampak dari itu ternyata cukup signifikan. Terutama pada aktivitas ekonomi warga yang bertumpu pada sektor informal.

Contoh, dampak cukup berat dirasakan oleh mereka yang selama ini bergelut di dunia hiburan. Yudinal, demikian karibku, adalah seorang bassist professional di sebuah group musik latin. Dia biasa manggung 2-3 kali dalam seminggu. Sudah hampir dua tahun dia menggantungkan gitar bas kesayangannya.

 

Namun, Yudinal tetap rileks. Dia cukup berhasil menemukan formula pas untuk menghadapi kondisinya. Salah satu,  “Ya… menurunkan tingkat konsumsi dan selera hidup bro. Semula pakai taksi, sekarang cukup angkutan umum. Semula ngopi di mal, sekarang di waroeng pinggir jalan. Semula cuci pakaian di laundry sekarang cuci sendiri lah. Toh sama saja kok… gue yakin rezeki orang itu hanya akan habis ketika orang itu mati,” ucapnya ringan sekali.

 

Hampir dua tahun melewati masa krisis, apakah kehidupan sang pemain bass itu lantas tamat? Tidak sama sekali. Selalu ada jalan keluar dari setiap kesulitan. Yudinal memiliki mental baja dengan bahan baku yang sudah terolah cukup baik sejak Ia kecil. Material dasar telah dipanaskan berkali-kali, ditempa ratusan kali hingga menjadi baja kokoh.

 

Sebagai laki-laki penuh tanggungjawab, Yudinal bisa cepat melakukan perubahan pola pada hidupnya. Pola yang sudah lekat dalam sejak puluhan tahun.

Sejak tidak lagi bermain music di café, ia memutuskan mengurus sendiri semua urusan rumah tangga. Sementara sang Istri tetap bekerja mencari nafkah sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di sebuah kantor kementrian dengan Karir bagus dan terus meraih prestasi.

 

Setiap pukul 4.30 pagi, ia sudah harus bangun memasak sarapan untuk istri. Jam 5.00 pagi, sudah siap dengan sepeda motor mengantar sang Istri ke tempat penjemputan.

Pulang ke rumah, dia belum bisa minum kopi dan duduk santai. Dia masih harus menyapu, mengepel seluruh ruangan, dan membereskan semua hal. Selesai, belum. Dia lanjut dengan mencuci pakaian kotor dan menyetrika hasil jemuran kemaren. Jam 11.00  siang, saat semua beres, barulah dia berkesempatan minum kopi. Semua dia lakukan dengan hati senang tanpa beban.

Dalam pertemuan reuni di samping kampus, ada salah satu kawan berkomentar; “Wah, lu menyalahi kodrat sebagai laki-laki dong?”.

“Gue kagak peduli sama kodrat seperti pemahamanmu itu. Yang penting, rumah tangga gue aman, bini bisa kerja dengan mudah, anak-anak tetap bisa sekolah,” jawabnya.

 

“Lu nggak gengsi gitu menjalani itu, ngurus urusan rumah tangga gitu loh. Kan itu kerjaan perempuan bro?”

 

“Gengsi? Gila saja kali gue kalau gengsi. Sekarang Gue sedang menjalani kodrat sebagai laki-laki yang berani mengurus semua urusan rumah tangga gue yang lu persepsikan sebagai pekerjaan perempuan. Salahkah? Gue pasti salah, ketika membiarkan anak-anak berhenti sekolah, bini gue banting tulang sendirian, sementara gue tetap kekeh menjalani kodrat laki-laki, meski gue kelaparan. Kagak deh.” Kawanku bicara dengan kalimat jelas dan sangat teaterikal.

 

Aku trenyuh lalu menaruh hormat pada pasangan karibku ini. Keberanian mereka mengambil sikap revolusioner itu tidak lepas dari cara mereka yang rileks menghadapi masalah.

Obrolan setengah reunian di samping kampus di depan warung sore itu memang seru, penuh keakraban.:

Buyung, pemilik warung, tiba-tiba nyeletuk, “Sebenarnya sih, rezeki Allah itu tetap ada di bumi ini. Tidak sedikit pun berkurang. Hanya sedikit bergeser saja. Sebelum  ini uang belanja di bumi ini  mengalir ke banyak sektor: perumahan, pariwisata, pembangunan infrastruktur, energi dst. Sekarang sedang banyak mengalir ke industri kesehatan dan technologi informasi,” ucap Uda Buyung dengan logat Minang totok.

Aku tercengang sekaligus mengamini pernyataan sikap Uda Buyung. (AJH)

 

Facebook Comments