Saya berkeyakinan Allah menjamin rezeki bagi semua mahklukNYA. Manusia adalah salah satunya. Mengapa demikian? Karena manusia sebatas makhluk (ciptaan)NYA. Manusia tidak kuasa untuk meminta dilahirkan ataupun sebaliknya. Kehadirannya di bumi sepenuhnya atas kuasaNYA.
Sperma ayah, ovum dan rahim Ibu, hanyalah media pengantar kelahiran saja. Begitupun perihal “kepulangan” manusia. Mereka hanya bisa pasrah gelondongan, kapan Allah hendak mengambilnya. Itu tidak bisa dipinta, apalagi didekte
Begitu manusia terlahir maka paket kebutuhan hidup yang menyertainya lengkap. Kebutuhan dasar hidup itu pasti akan dipenuhi. Bukan keingininnya. Mungkin, kebutuhan dasar hidup masing-masing orang akan berbeda-beda. Itu lumrah. Apalagi keinginannya. Kadang tidak terbatas.
Perkarar rezeki, saya punya ilustrasi sederhana. Saya hidup bertetangga dengan Om Anang dan Pak Rizal di kawasan perumahan tempat saya tingal. Kami sama-sama menanam pohon mangga. Tidak terlalu paham jenisnya sih. Ketiga pohon tersebut tumbuh di tanah yang sama, menghirup udara dan meminum air tanah yang sama. Tetapi hasil buahnya berbeda-beda.
Pohon mangga Om Anang yang sebenarnya paling junior, buahnya paling banyak. Bahkan tidak henti-hentinya berbuah. Begitupun pohon mangga Pak Rizal, lumayan banyak buahnya, melebihi pohon mangga saya. Itulah gambaran rezeki Allah lewat media pohon mangga kepada kami bertiga.
Mengapa pohon mangga Om Anang berbuah lebih banyak? Salah satu karena ada pupuk buah dan perawatan yang baik. Tapi, pohon saya pun mendapat perlakuan yang sama. Usaha Om Anang yang rajin memberi pupuk, dan merawat itu adalah ikhtiar. Seperti umumnya usaha sungguh-sungguh manusia.
Manusia selalu berusaha dan berharap mendapatkan hasil baik. Tetapi, perkara hasil, kualitas dan kuantitas dari usaha itu, tetap bukan menjadi kuasa manusia untuk menentukanya. Tidak ada rumus “pasti” dalam teori itu.
Sikap manusia dalam merespon kenyataan itu menjadi penting. Banyak pilihan sih. Misal, saya bisa memilih bersikap iri dengan Om Anang. Lalu saya melakukan tindakan tercela, sehingga pohon Om Anang mati. Saya bisa juga bersikap menyalahkan diri sendiri. Menghukum diri karena merasa kurang sungguh-sungguh dalam merawat pohon. Atau bisa juga memprotes Allah atas pembagian rezeki yang menurut persepsi saya tidak adil.
Jika saya memilih tiga pilihan itu, maka dijamin, alih-alih pohon mangga saya akan berbuah banyak, mungkin justru saya akan menjadi pribadi penuh amarah, stress, suntuk, frustasi dan seterusnya. Karena sikap itu telah menjauhkan diri saya dari rasa syukur dan mengingkari nikmat Allah yang sejatinya jauh lebih banyak.
Mungkin, Allah sengaja tidak memenuhi hawa nafsu saya untuk mendapatkan buah mangga yang banyak bibit gengsi, serakah, dan tidak ingin kalah yang ada dalam diri saya. Bayangkan, jika hasrat itu terpenuhi, saya mungkin akan berubah menjadi pribadi sombong dan abai terhadap orang lain.
Akan sangat berbeda hasilnya jika saya mau belajar untuk melihat kenyataan soal pohon mangga itu dari sisi yang lebih positif. Misalnya, siapa bilang rezeki Allah lewat pohon mangga itu hanya berupa buah?
Jika hanya itu, berarti saya mengingkari jutaan oksigen yang telah dikeluarkan oleh si pohon. Oksigen yang lalu saya hirup setiap hari hingga jantung dan paru-paru saya sehat. Saya juga mengingkari ribuan liter air yang tersimpan di dalam tanah dari pohon yang sangat bermanfaat itu. Begitu juga nikmat dari daun-daun yang menghasilkan keteduhan dan kesejukan. Begitu banyak nikmat yang saya peroleh yang sejatinya kebutuhan dasar hidup.
Saya bercerita perihal gambaran rezeki ini kepada Kiyai Masyhuri Al-Banjari dan anggota “kitchen cabinet” Masjid Al-Muhajirin kampungku. Kami sering ngobrol sambil ngopi di dapur yang lantainya semakin bersih. Mendengar ceritaku, sontak Kyai Masyhuri melipat sarungnya tinggi-tinggi.
“Rezeki itu bukan hanya nasi, lauk pauk dan makanan enak sekedar memenuhi kebutuhan perutmu saja. Bukan! Yang pasti dipenuhi Allah itu kebutuhanmu, bukan keinginanmu!” ucapnya galak.
“Nah… yang jadi masalah itu bukan ketersediaan rezeki. Tapi mental kamu dalam mensikapi rezeki. Kalau kamu masih terus merasa kurang, ya hidupmu akan selalu miskin!“
Sambil mencomot kerupuk putih dari kaleng merah di sampingnya, dia melanjutkan omelannya. “Kamu lihat burung-burung itu? Setiap pagi mereka terbang ke mana-mana. Ketika pulang, kantongnya sudah penuh. Lalu dibagikan ke anak-anaknya. Burung-burung itu dapet rezeki karena sudah terbang. Tidak diam saja di rumah. Kalo diam saja, itu menyalahi sunatullah. Paham?” Kali ini dia sambil membenarkan letak peci hitamnya.
Marbot lain menyahut, “Kalo burung-burung peliharaan Zaki yang dikandangin di samping masjid itu bagaimana Pak Kyai Huri? Makanannya sih enak-enak, tapi tidak tidak ada jodohnya. Dikurung terus lagi.”
“Wis embuh. Ngomong jodoh maning jodoh maning. Aku tambah mumet!” Kyai Masyhuri pergi masuk bilik kecilnya, sambil tiduran ia membuka google lalu menulis “kiat mendapatkan istri sholehah…”
Ahsan Jamed Hamidi
Penulis adalah Ketua Ranting Muhammadiyah Legoso – Ciputat Timur – Tangerang Selatan