SENIMAN Taiwan dan Indonesia berkolaborasi menggelar rangkaian pertunjukan tari yang salah satunya terinspirasi oleh musik dan joget dangdut pekerja migran anak buah kapal (ABK). Pertunjukan berlangsung di panggung the Experimental Theater, National Theater Concert Hall (NTCH) di Taipei selama tiga hari, Jumat-Minggu (8-10/4/2022).
Durasi setiap pertunjukan berlangsung selama 1 jam 40 menit, menampilkan “Ita”, yang dikoreografikan oleh Watan Tusi, seorang anggota masyarakat adat Truku Taiwan dan “AriAri”, karya koreografer terkemuka Indonesia, Eko Supriyanto. Tarian-tarian tersebut secara garis besar memaknai berbagai penampilan pertukaran emosi antarmanusia dalam masyarakat kontemporer.
“Ita”, yang menurut Watan terinspirasi dari kunjungannya ke klub malam buruh migran dan pelabuhan perikanan, menampilkan dua penarinya sendiri dan tiga penari Indonesia dari sanggar tari Eko.
Terinspirasi oleh musik dan joget dangdut Watan mengatakan meskipun genre musik ini tergolong memiliki ritme cepat seperti musik untuk berjoget pada umumnya, tetapi materi yang diusungnya tidak selalu tentang topik-topik bahagia. Itu mengingatkannya pada lagu-lagu lama yang dinyanyikan oleh para tetua Adat Taiwan ketika mereka harus pergi meninggalkan desa mereka untuk mencari nafkah di kota-kota.
Dalam karya koreografinya yang menampilkan lima penari (dua orang Taiwan asli dan tiga orang Indonesia), Watan ingin mengeksplorasi kekuatan gerak tubuh para buruh dalam atmosfer musik yang berbeda untuk menciptakan ikatan antar manusia.
Sementara dalam “AriAri,” yang berarti plasenta dalam bahasa Jawa, Eko menampilkan duo penari Taiwan Piya Talaliman dan Temu Masin dari grup tari Watan, Tai Body Theatre, menitikkan pada ikatan tak terlihat antara manusia dan kasih sayang yang tulus.
“Secara filosofis dan metaforis untuk filosofi dan budaya Jawa, sangat penting untuk dipahami bahwa ari-ari bukan sekadar plasenta. Ini adalah sesuatu yang menghubungkan Anda dan keluarga, terutama ibu Anda,” kata Eko.
Fajar, pekerja migran Indonesia (PMI) yang menyaksikan acara itu mengaku terharu dan sempat menitikkan air mata menyaksikan jalannya pertunjukan. ”Karena begitu nyata gambaran kehidupan kami yang penuh dengan permasalahan di negara penempatan.Terlebih lagi diawali dengan alunan tembang “Wijil” yang merdu dari salah satu pemain. Serasa suasana nyata adanya. Benar benar dibikin baper…” ujarnya.
Fajar berharap, di masa depan akan lebih banyak pertunjukan-pertunjukan seni yang menampilkan kehidupan pekerja migran, “Yang berdasarkan sumber dan riset dari lapangan, tentu saja.” tandasnya. (cna/e)