Tak boleh pulang, Shinta sempat ingin bunuh diri

0
1754
Contact US +852859865
Contact US +852859865

Hari masih terang, ketika SUARA bersama beberapa Petugas Desa Migran Produktif dari Kabupaten Banyumas mengunjungi rumah Suriyah, ibu kandung almarhumah Shinta Danuar di Desa Purwodadi, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Shinta adalah PMI Taiwan yang sempat lumpuh dan dirawat 4 tahun di luar negeri sebelum akhirnya dikirim pulang dan menghembuskan napas terakhir.

Suriyah menyambut kami di rumahnya dengan ramah. Dia adalah perempuan tangguh dan kuat, yang sudah berupaya sekuat tenaga menjagai Shinta saat putrinya yang adalah PMI Taiwan itu berjuang hidup sampai detik-detik penghabisan.

“Entah apa nama penyakitnya, dokter saja belum tahu. Bahkan kata dokter di rumah sakit di Taiwan, penyakit yang diderita Sinta itu termasuk jenis penyakit langka”, kata Suriyah, lirih.

Pandangan matanya menerawang jauh, membuat hening menyergap ruang tamu rumahnya yang sederhana. Sejenak SUARA mengamati coretan-coretan spidol dan pensil warna tak beraturan bekas spidol di dinding ruang tamu itu.

Orang tua Shinta Danuar saat menyambut para petugas datang ke rumah mereka

“Itu Agta yang nyoret-nyoret. Biasalah, anak kecil. Dinding pun nggak luput jadi sasaran,” tiba-tiba ibu Suriyah menjelaskan tanpa ditanya.

Saat itulah SUARA menyadari kalau dari tadi ada seorang anak kecil diam-diam mengintip. Ia tampak ragu-ragu menghampiri sampai SUARA melambaikan tangan menyapa. Anak itu, Agta, adalah putra tunggal dari Almarhumah Shinta.

Suriyah mengajak Agta untuk menemui dan bersalaman dengan kami. Meski pada awalnya malu-malu, anak kelas 3 SD itu akhirnya keluar dan menyalami kami satu-persatu. Perlahan, Agta menjawab semua pertanyaan kami. Layaknya seorang anak kecil yang biasa diajari sopan santun terhadap tamu.

Agta telah lama berpisah dengan sang ibu, Shinta. Mereka berpisah sejak Shinta mulai bekerja menjadi caregiver di Taiwan selama 8 bulan dan akhirnya tiba-tiba sakit lumpuh pada 2014. Kemudian, anak dan ibu ini terus terpisah saat Shinta dirawat di Rumah Sakit Hen Ping, Taiwan, selama 4 tahun.

“Malam sebelum ia masuk rumah sakit, ia ngobrol dengan saya di telepon, dan bilang: ‘Alhamdulillah, Ma, saya sudah selesai potongan gaji. Mulai besok, saya akan terima gaji penuh.’ Eh, malah keesokan harinya ia jatuh ketika mau masuk kamar mandi, lalu tidak sadarkan diri. Oleh majikannya, Sinta dibawa ke rumah sakit”, kata Suriyah berkisah.

“Sejak hari itu sampai sekarang, Shinta tidak pernah keluar dari rumah sakit lagi”, Suriyah berkisah sambil sesekali membelai rambut Agta yang duduk di pangkuannya.

Tampak kesedihan menggelayut di pelupuk mata perempuan yang mempunyai dua orang anak dan seorang cucu itu.

Shinta Danuar adalah anak sulung Suriyah. Ayah kandung Shinta sudah meninggal kala Shinta masih remaja. Lalu Suriyah menikah dengan Ahmadi dan lahirlah Asti, adik tiri Shinta yang kini masih duduk di MI, sekolah setingkat SD.

Asti dan Agta bersekolah pada sekolahan yang sama. Hanya saja Asti duduk di kelas 6, sedangkan Agta kelas 3. Asti dan Agta selalu berangkat dan pulang sekolah bersama-sama. Mereka juga selalu bermain dan belajar bersama selepas sekolah.

“Di sekolahan, ada yang nakal nggak?”, SUARA bertanya ke Agta.

“Ada. Tapi udah aku laporin ke ibu guru, jadi dia sekarang nggak berani nakal lagi”, jawab Agta sambil bergelayut di lengan Suriyah.

“Terus Agta suka sekolah nggak?”

Sambil memandang neneknya seakan minta persetujuan, Agta menganggukkan kepala.

“Agta sudah pernah naik pesawat terbang ya..?”, SUARA kembali bertanya.

Anak ini menganggukkan kepala lagi. “Ke Taiwan menjenguk ibu”, sambungnya, cepat.

“Naik pesawatnya sama Eyang ya?”, tanya SUARA kembali.

“Iya”, jawabnya, singkat.

Perhatian Aqta tiba-tiba teralih begitu melihat Asti, adik tiri Shinta, berdiri di pintu ruang tengah. Tanpa banyak kata, Agta bergegas menghampiri dan mengajak Asti bermain.

”Dia memang lebih dekat ke saya, karena Shinta lama di Taiwan. Saya ini sudah dianggap ibunya dia”, kata Suriyah sambil memandangi cucu dan anaknya yang kini asyik main lompat-lompatan.

“Kami sering  video call dengan Shinta. Dan Shinta selalu ngobrol dengan Agta. Kan meski Shinta badannya lumpuh dari leher ke bawah, tapi masih bisa ngobrol dan makan seperti orang yang tidak sakit saja, jadi kami meski berjauhan tapi sering video call”, kata Suriyah.

Hampir empat tahun Shinta dirawat di Taiwan, sampai akhirnya pada 29 November 2018 lalu, PMI ini dipulangkan ke Indonesia. Sesampai di Bandara Soekarno Hatta, Shinta langsung dilarikan ke Rumah Sakit POLRI, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Suriyah berkisah, pulang ke rumah adalah harapan dan keinginan Shinta sendiri. Ia sangat ingin kembali ke rumah agar bisa bersama anaknya semata wayang, orangtua dan adiknya. Shinta, kata Suriyah, ingin bercengkrama dan menikmati masakan ibunya setiap hari, sambil mendampingi putranya yang makin beranjak besar.

Suriyah menyatakan tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Shinta selain berada di dekat keluarga.

Namun kondisi Shinta sempat jadi kendala pemulangan PMI ini ke Indonesia. Shinta tidak bisa lepas dari bantuan alat pernapasan, dan badannya juga lumpuh. Selain itu Shinta harus berada dalam ruangan steril, sehingga pihak rumah sakit di Taiwan menolak memulangkan PMI ini ke Indonesia. Dia bahkan tak boleh keluar dari ruang isolasi. Apalagi dibiarkan melakukan perjalanan udara dengan jarak tempuh yang lama.

Lirih, Suriyah kembali berkisah bagaimana Shinta mulai depresi. Kondisi tubuh yang tidak bisa digerakkan, bertahun-tahun tinggal di ruangan isolasi rumah sakit, dan tak tahu kapan bisa pulang, membuat Shinta beberapa kali berupaya bunuh diri. Untunglah, upaya nekatnya itu selalu ketahuan pihak rumah sakit.

Mendengar penuturan Suriyah, kami semua yang duduk di ruang tamu hanya bisa terdiam.

“Alhamdulillah, Shinta sudah pulang ke Indonesia, meski tidak bisa langsung tinggal di rumah tapi harus dirawat di rumah sakit dulu”, kata Suriyah, memecah keheningan.

“Saya berterimakasih kepada Pemerintah yang sudah membantu dan membiayai seluruh proses pemulangan anak saya dari Taiwan. Saya yakin biayanya tidak sedikit. Karena Pemerintah juga menyewa ruangan di pesawat agar bisa memuat ranjang tempat Shinta tidur dan peralatan medisnya sekalian”, kata Suriyah.

Manusia hanya bisa berencana, namun Tuhan yang menentukan. Dua hari setelah kunjungan kami, Shinta Danuar menghembuskan nafas terakhir pada pukul 00:22 WIB, 10 Desember 2018 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Jenazahnya langsung dipulangkan dan dimakamkan keesokan harinya di Desa Purwodadi, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.*

Artikel dimuat di SUARA edisi Dec Mid terbit 21 Desember 2018

               

 

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments